Thursday, September 25, 2008

Kupu – Kupu Metamorfosa Hinggap di Kolong Jembatan

Pada tanggal 25 juli 2008 sampai dengan 27 juli 2008 merupakan hari puncak kelelahan maksimum mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti. Hari itu merupakan pembuktian ide kreatif mahasiswa kepada masyarakat akan alternatif ruang publik yang dibutuhkan Jakarta, yang dirasa sangat mendesak. Jakarta terlalu diserbu oleh bangunan – bangunan komersil yang menghilangkan ruang bermain dan berinteraksi masyarakat kota. Metamorfosa berusaha untuk menjadi embrio untuk memberi wacana kepada masyarakat bahwa pasti ada ruang kota yang dapat dimanfaat selain hanya berupa taman dan tanah lapang.
Awalnya memang hajatan ini mau digelar di Taman Menteng yang bekas berdirinya Stadion Menteng, tapi setelah dipikir – pikir lagi ternyata enggak asik ngadain acara ditempat yang sudah bagus dan berfungsi sebagai ruang publik. Jiwa muda kami berontak. Mana tantangannya? Selain itu kita juga menghormati para penggila bola di Jakarta yang marah karena stadion bersejarah ini dirubah menjadi taman, khususnya pada Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, dan Ponaryo Astaman kapten kesebelasan Indonesia sekarang. Membangun ruang publik kan tidak harus mengorbankan sejarah. Bener ga?
Setelah kami berpikir, ngelamun, dan pegal karena sambil jongkok berjejer memikirkan Jakarta akhirnya keluarlah ide tentang kolong jembatan. Kenapa kolong jembatan? Semua berawal dari keberadaan flyover di Jakarta. Nah gini nih ceritanya, baca terus ya!
“Fly over dipergunakan untuk mengurangi kemacetan dengan menaikkan jalan ke atas, biasanya berada diperempatan jalan atau jalan – jalan utama tetapi dengan lebar yang tidak mencukupi untuk diakses begitu banyak kendaraan sehingga terjadi kemacetan (contoh paling gres fly over didepan ITC Roxy). Akan tetapi ada yang tidak diperhatikan dan tanpa kita sadari menjadi ruang percuma, padahal hampir setiap hari kita melintasi dan menyisiri fly over. Ruang tersebut memiliki potensi karena berada ditengah kota sehingga nilai (values) dari ruang tersebut sangat tinggi dan dapat dikembangkan, akan tetapi ruang ini seringkali berkonotasi negatif. Kolong jembatan.
Kolong jembatan di Jakarta banyak dipergunakan oleh penduduk pendatang dari luar ibukota sebagai pemukiman kumuh ilegal seperti kita lihat di bawah jalan tol menuju ke arah bandara Soekarno-Hatta dan Mangga Dua. Selain itu kolong jembatan juga sering dijadikan tempat pedagang kaki lima berjualan karena teduh (jalan diatas berfungsi sebagai atap) dan seringkali berada di dekat pusat keramaian, bahkan tidak jarang menjadi tempat hiburan bagi masyarakat kelas bawah (pagelaran dangdut dengan menggunakan soundsystem yang berada di mobil boks kemudian penyanyi perempuan bernyanyi sambil berjoget, sering terjadi di bawah fly over depan ITC Roxy pada larut malam ketika jalan sudah sepi).
kami mengambil contoh fly over di daerah Tomang dekat Mall Taman Anggrek. Fly over tersebut berada di perempatan yang besar, dilalui Busway dan merupakan pintu akses tol menuju Tangerang dan pulau Sumatera. Fly over tersebut memiliki lebar jalan kurang lebih 35 m (ukuran berdasarkan pengamatan visual, sehingga tidak akurat) dengan struktur berbahan beton. Kota Jakarta telah kehilang ruang 525 m² (dianggap jarak dari kolom ke kolom fly over tersebut 15m) yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Kenapa berpotensi? Karena letaknya yang berada ditengah kota dan ruang yang cukup luas tersebut hanya difungsikan sebagai ruang transisi. Apabila kita jumlahkan ruang – ruang dibawah fly over Jakarta secara keseluruhan, berapa besar Jakarta telah kehilangan ruang yang berpotensi?
Potensi ruang di kolong jembatan tersebut bisa dikembangkan seperti dengan memfasilitasi kegiatan yang sudah tumbuh di kolong jembatan tersebut yang dulunya ilegal menjadi legal, tentunya dengan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mendukung kalangan menengah kebawah dengan tetap mendukung kreatifitas perancang. Penyerahan ruang kota tersebut untuk diolah bagi masyarakat kalangan menengah kebawah adalah karena kawasan tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat menengah kebawah. Kenapa bisa disebut baik disini? Karena masyarakat menengah kebawah selaku penghuni kota telah memanfaatkan ruang yang serba terbatas tersebut (tidak hanya kolong jembatan) dengan menaikkan nilai lahan itu sendiri dengan melihat potensi ekonomi yang ada di ruang kota, padahal mereka sendiri memiliki keterbatasan, seperti biaya, tidak adanya perizinan yang sah, dan lain sebagainya, yang sebenarnya dibutuhkan bukanlah sebuah pengusiran atau penggusuran, tapi sebuah penataan yang baik dan sehat. Walaupun masyarakat menengah bawah memanfaatkan ruang tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk dimasuki oleh seluruh penghuni kota, dalam hal ini menjadi ruang publik kota. Selain itu pemerintah juga memperoleh keuntungan dengan dimanfaatkannya tanah negara yang dapat digolongkan ruang sisa sebagai pemasukan daerah karena dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Akan tetapi memang perlu dikaji kembali secara lebih mendalam tentang hal tersebut.
Secara teori ada tiga cara perkembangan kota, yaitu : horizontal, vertikal, dan interstisial. Yang akan kami soroti adalah perkembangan secara interstisial, Interstisial adalah perkembangan kota yang perkembangannya dilangsungkan ke dalam. Artinya, daerah dan ketinggian bangunan – bangunan rata – rata sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Secara analogi apabila ada dua bangunan yang diapit ruang terbuka, dikarenakan sudah tidak ada lagi ruang untuk membangun maka ruang terbuka tersebut dibangun bangunan baru atau disisipkan diantara dua bangunan. Pada beberapa daerah kota Jakarta yang padat, sudah harus diterapkan cara perkembangan kota secara interstisial. Akan tetapi yang disisipkan bukan bangunan tetapi ruang publik baru karena kawasan tersebut terlalu sesak dengan bangunan. Hal ini disebabkan karena banyaknya bangunan yang terbangun dan perlu disisipkan ruang – ruang publik diantara bangunan tersebut untuk manusia yang berada disekitar kawasan tersebut.
Ada beberapa faktor yang kami perhatikan menyebabkan kolong jembatan tidak dimaksimalkan fungsinya di Jakarta. Pertama, lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk menikmati ruang tersebut. Dengan banyaknya kendaraan yang melewati jalan tersebut, terutama di lampu merah menyebabkan menumpuknya polusi disekitar kolong jembatan tersebut sehingga kurang nyaman dan sehat. Hal ini menyebabkan ruang tersebut tidak diperhatikan dan dihindari oleh penduduk kota. Kedua, linkage ke kolong jembatan tersebut yang hanya berupa zebra cross sehingga untuk mencapai ke dalam kolong jembatan dibutuhkan pengorbanan melewati jalur kuda besi yang cukup lebar.”
Nah setelah membaca pemaparan tersebut kami punya dasar yang kuat untuk mengadakan acara di bawah kolong jembatan. Karena tidak jauh dari permasalahan kota yang sedang terjadi di Jakarta. Setelah mengalami perdebatan internal yang alot tentang konsep acara dan keterbatasan – keterbatasan yang menghambat, serta bongkar pasang panitia. Biasa….! Namanya juga mahasiswa. Akhirnya acara berjalan juga. Setelah urusan sponsor selesai, alat dan bahan sudah terkumpul, saatnya dimulai dekorasi, bagian terindah dari proses acara ini. Ngecat beres, teriak sana teriak sini, instalasi selesai, tidur sana tidur sini, keramik dipasang, marah sana marah sini, pinjem instalasi sana – sini, ketawa kesana ketawa kesini. Jeng…jeng…!!! Lapor komandan…acara siap dilaksanakan….terserah lo - lo pada bagian acara mau ngapain…kita – kita tidur dulu…kalo butuh bantuan bangunin aja…laporan diselesaikan…zzzz…zzzz…zzzz…..
Tim acara bergerak, berbondong – bonding kalangan akademisi, praktisi, pemerintahan dan seniman diundang untuk memberikan sudut pandang masing – masing. Mereka diantaranya antara lain Prof. Ir. M. Danisworo. M.Arch.,MUP.,Ph.D, Ir. Ahmad D. Tardiyana,MUDD, Ir. Nirwono Joga, M.LA., Iwan Kurniawan, ST, MT, Gregorius Supie Yolodie, Hari Dagoe, Ir. Adhi Moersid,IAI, Yulianti Tanyadji, ST, MSc. Tema – tema seminar dan diskusi yang diangkat pada acara Metamorfosa ini tidak lari dari angan – angan akan Jakarta yang memiliki ruang publik cantik, indah, dan dapat dimiliki oleh semua warganya. Pada hari pertama acara Metamorfosa adalah seminar yang diadakan di auditorium kampus, disamping pameran yang telah diadakan di kolong jembatan, tema yang yang diangkat pada seminar adalah ”definisi ruang publik” membahas mengenai definisi yang lebih mendalam, esensi dan solusi mengenai ruang publik. Pada hari kedua dan ketiga acara talkshow diadakan dibawah kolong jembatan. Tema talkshow yang diangkat pada hari kedua adalah ”Memanusiakan Ruang Publik”, yang membicarakan bagaimana merancang ruang publik dengan manusia sebagai subjek yang diprioritaskan, sehingga esensi dari ruang publik tersebut dapat tercapai secara optimal. Sedangkan pada talkshow yang ketiga tema yang diangkat adalah “Masa Depan Ruang Publik” mempertanyakan bagaimanakah seharusnya ruang publik (di Jakarta khususnya) pada masa depan. Ditinjau dari perkembangan arsitektur di dunia yang semakin pesat dalam hal pendekatan design, struktur, maupun material.
Disamping gubernur, camat, anggota DPR, rektor, dekan, dosen, mahasiswa dari kampus lain, masyarakat umum, wartawan dan tukang airbrush, pada acara ini juga kami mengundang pedagang kaki lima (tukang teh, tukang gorengan, gerobak soto, jus, dll) untuk ikut berpartisipasi pada acara kami dengan berjualan pada area yang telah disediakan,gratis…..Yah… semoga bisa ikut membantu perekonomian pedagang sekitar, jadi ni acara ga hanya menang gaya doang tapi juga ikut nolongin orang. Selain itu kita juga ingin memberi alternatif pada bapak – bapak dan ibu – ibu (logat AA Gym kalo ceramah) yang memiliki kekuatan politik bahwa kolong jembatan bisa dipake dagang kok, disamping hanya menjadi area parkir doang. Sapa tau kan nanti ada glodok baru di kolong jembatan S.parman.
Ada yang menarik ketika acara sedang berlangsung. Ternyata kolong jembatan tempat kami mengadakan acara metamorfosa sering dipergunakan oleh sebuah yayasan sosial bernama Sahabat Anak Grogol untuk memberikan bimbingan belajar kepada warga kolong disekitar. Pendidikan yang diberikan berupa baca tulis serta menghitung, dan yang memperoleh pelajaran tidak hanya anak kecil tetapi juga orang tua yang mau belajar. Adanya kegiatan belajar mengajar di bawah kolong jembatan ini memberikan pemahaman baru bagi kami bahwa ternyata kolong jembatan bisa menjadi apa saja, walaupun saat ini semua kegiatan dibawah kolong jembatan ini terjadi karena terpaksa.
Keberhasilan acara ini bisa disebut belum sepenuhnya berhasil, walaupun target untuk menjadikan hal ini sebagai wacana di masyarakat dan terpublikasikannya acara ini keluar kampus melebihi ekspetasi yang kita kira. Kenapa? Karena acara yang kita buat hanya sementara dan wacana yang terjadi dalam masyarakat bisa digantikan oleh wacana yang lain, dan sampai saat ini ternyata kolong jembatan tetap belum bisa menjadi apa – apa. Kolong jembatan tetap menjadi tempat yang gelap, tidak menarik, dan cenderung dijauhi oleh mayoritas masyarakat perkotaan. Sehingga memunculkan pertanyaan baru. Kapan kolong jembatan di Jakarta bisa menjadi ruang publik yang sebenarnya diharapkan oleh warga Jakarta sebagai alternatif taman kota? Semoga kita bisa menjawabnya bersama – sama.

tulisan ini dimuat di free magazine G-Magz #2

Saturday, September 20, 2008

Manusia Wacana

Begitu membludaknya tercipta manusia dengan perilaku gumam. Membludak, hampir seperti volume air laut di jagat. Walaupun hanya sebuah majas hiperbola. Dimana kepala satu bergumam ke kepala satu yang lain atau bahkan ke banyak kepala. Gumam tidak pernah habis. Setiap kepala bergumam. Gumam ini, gumam itu, gumam sana, gumam sini. Gumam hanya terlempar – lempar seperti olah raga bola. Pindah kesana, pindah kesini, melambung kemari. Berebut untuk bergumam. Gumam pun bisa bingung karena kenapa si gumam harus terus bergumam. Itu – itu saja. Dia tidak menghasilkan apa – apa. Tidak merubah skor. Tidak bertemu kemenangan dan tidak berpapasan dengan kekalahan. Siapa kepala – kepala gumam itu? Si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z? Kita pun tak tahu. Cukup bisa terjawab di hati yang tidak pernah bohong. Itupun masih mungkin.
Mengapa mereka tercipta? Untuk meramaikan dunia barangkali. Menciptakan dunia seimbang. Tapi apabila terlalu banyak hanya kan membuat beku. Dimana kita hanya berputar di dalam gumam kita sendiri dan ke orang lain yang juga seorang penggumam. Dalam wujud wacana. Tiap kepala Cuma bergumam. Menginginkan. Tapi tidak melakukan. Apakah tidak rindu kalian menjodohkan gumam dengan yang lain. Gumam berkekasih dengan tindak. Ketika gumam bersetubuh dengan tindak dia akan membuntingi anak dengan nama hasil. Hasil yang mempunyai nama panjang. Bisa hasil buruk, hasil jelek, hasil gitu, hasil gini, tidak ada hasil, hasil tak sampai, berhasil, dan lain – lain.
Dunia butuh gumam.butuh sebuah wacana. Karena wacana itu membuat kita merasa. Tapi apalah daya. Kita tidak bisa tahu siapa yang menjadi manusia wacana. Apakah kita sudah pantas menjadi manusia wacana? Bisakah kita menolak menjadi manusia wacana? Karena kita bisa melakukan. Tapi tetap terbius dengan wacana, dengan gumam yang bisa saja kita telan sendiri. Tercerna di dalam kata, tapi tersumbat tak keluar. Banyak sekali manusia – manusia yang bisa bertindak. Tapi mereka hanya bergelayutan di akar gantung wacana, yang kuat, kokoh, tak bergerak. Mereka menolak bertindak, ibarat barang najis yang tak mau dipegang. Kotor. Haram. Seperti berteman dengan setan.
Apakah ini hanya akan menjadi sebuah wacana? Lewat begitu saja. Terlupa begini saja. Habis. Karena apabila harus jujur. Inipun hanya sebuah wacana.

Monday, September 15, 2008

mungkin

Pernahkah teman meresapi arti kata “mungkin” ? mungkin tidak. Suatu kata yang membuat kita anak manusia menggantung tapi tetap berharap. Begitu dalam arti kata itu bila kita resapi. Membuat teman ingin marah, kecewa, tapi bisa jadi bahagia, semua tergantung dari situsi yang terjadi sehingga ada seorang pemimpin diantara teman yang mengeluarkan kata mungkin. Sebuah kata – kata ajaib penuh pengharapan.
Apa kita sebagai manusia disaat sekarang ini membutuhkan kata mungkin? Sebuah kata dengan arti dan makna tak pasti. Bima dalam tokoh pewayangan jawa belum tentu bima bisa jadi arjuna. pandawa lima belum tentu ada lima bila kita tidak terpatok oleh angka lima. Bisa jadi enam sedangkan yang ada diingatan para seniman ataupun budayawan lima. Semua mungkin saja diciptakan oleh orang – orang zaman dulu bukan? mungkin saja bukan? Sekali lagi mungkin. Tak pasti. Kecewa.
Sekali lagi mungkin kata – kata mungkin memiliki arti yang juga mungkin. Apa kita harus terus berputar – putar dengan kemungkinan – kemungkinan? Tidak mengambil tindakan yang berujung pada kepastian. Itu yang mungkin sedang kita hadapi sebagai anak manusia yang lahir di indonesia menurut soekarno, dan auslia menurut tan malaka, dan bisa jadi hindia belanda menurut belanda. Tidak bisakah kita lari dari kata – kata mungkin dengan mengambil langkah pasti? Tidak terus berkutat dengan kata – kata mungkin yang dalam bentuk ilmiah mungkin bisa disebut dengan analisis. Kurasa tidak mungkin. Mungkin kita harus tetap berada di jelaga kemungkinan. Tetapi kita harus cepat keluar dari jelaga penuh lumpur kemungkinan itu bergelut didalamnya sampai kita menemukan sebuah kunci, kunci yaitu kepastian, kepastian tentang apa yang kita pilih dan akan jalani. yang kemudian kita masukkan kedalam lubang yaitu tindakan. Setelah itu baru kita bisa buka pelan – pelan ataupun dengan mendobrak pintu itu yang bisa kita lihat hasilnya nanti.
Paling tidak atau bisa kita sebut ” untunglah....!!!!” kita sudah bisa keluar dari lumpur kemungkinan itu. Tidak lagi berharap dari kemungkinan, kita telah membuka pintu dan bertegur sapa dengan harapan. Harapan pasti. Bila itu salah kita bisa ulang lagi. Menunggu. Menunggu untuk bertemu dengan harapan pasti dengan tercebur kembali kedalam kubangan yang bernama kemungkinan. Terus dan berulang. Tidak ada puasnya.