Monday, October 20, 2008

Monday, October 13, 2008

In - Telek

Intelektual mungkin sebuah ungkapan sakral tentang kecerdasan seorang individu atau juga dibarengi dengan tambahan kata kaum untuk menjelaskan bahwa jumlahnya tidak hanya satu. Tapi makna yang saya dapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai penilaian konteks yang berat ke arah positif. Sedangkan makna itu juga terdengar dalam pemberitaan tentang ”siapakah aktor intelektual pada peristiwa mei 98?” yang saya dengar dan lihat pada tayangan berita di liputan 6. Sehingga makna intelektual tertarik lagi ke arah negatif.
Tertarik saya pada pendapat To Thi Anh yang saya kutip dari bukunya ”Budaya Timur dan Barat, Konflik atau Harmoni?”:
Kaum intelek atau kaum borjuis mungkin berpikir lebih baik makan nasi dan garam saja tetapi dapat menyanyi dan tertawa daripada makan steak dan daging ayam tetapi harus tertekan oleh berbagai macam persoalan, hidup dalam terowongan tambang, pabrik dan jadi robot. Memang kaum borjuis mungkin berpikir begitu, tetapi mereka yang miskin belum. Mereka ingin mengalami, merasakan apa yang nampaknya merupakan perwujudan banyak mimpi, apapun akibatnya nanti.
Dimana kita lihat kaum intelek terbentuk bukan dari masyarakat kelas ke tiga, dimana mungkin mereka telah merasakan kesenangan dunia yang ternyata bukan jadi tujuan hidup. Tetapi kebahagiaan dalam bentuk yang lain. Nyanyi dan tawa. Ada contoh yang bisa saya beri. Chairil Anwar. Dalam buku Hari – Hari Akhir Si Penyair karangan Nasjah Djamin dapat saya simpulkan. Sang penyair yang lebih memilih hidup menggelandang meminjam uang pada Baharudin M.S. pelukis yang menjadi kepala bagian tipografi di Balai Pustaka daripada menjadi redaktur sebuah majalah. Yang pada akhirnya dia berpulang dikarenakan penyakit disentri saya kira. Dikarenakan pola hidup yang berantakan. Tetapi dia menjalani hidup penuh dengan tawa, ceria disamping kesibukannya membuat sajak. Itu pilihan hidup.
Tetapi bukan berarti secara general kita menghakimi kaum intelek seperti itu mungkin. Mahatma Gandhi lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan kemerdekaan di India bukan? Dan ia saya kira juga merupakan kalangan atas india karena dia pernah menjadi mahasiswa dan menemukan ketimpangan pada bangsanya yang terjajah. Sama seperti tokoh minke yang diambil dari kehidupan Tirto Adisuryo karangan Pramoedya Anantha Toer dalam Tetralogi Burunya dan mungkin juga Bung Karno.
Tanggung jawab terhadap kaum miskin bagi kaum intelektual? Itu bukan total tanggung jawab kaum intelek. Mungkin semua. Karena mereka mengerubungi kita seperti lalat. Dari muda sampai tua. Lagipula kaum miskin tidak hanya kaum miskin kota seperti yang dikumandangkan pada demonstrasi. Mereka bergentayangan dari sabang sampai merauke. Bisa jadi sampai ke laut dalam yang hampir lepas.
Sebutan intelektual terdengar renyah ditelinga. Membuat kita terlena dan hampir mengudara. Padahal dibalik sebutan indah itu beban begitu nanar dan meronta minta ratu adil datang. Tapi yang pasti tidak semua bisa disebut intelektual walaupun kita berada didalam kubangan mahasiswa yang saya pikir lebih pantas disebut pelajar. Karena pilihan hidup begitu banyak rupanya. Tinggal memilih yang mana.
Intelektual. Begitu manis.
Tapi berbau seperti telek, bila disalah guna.